Rabu, 07 Desember 2011

MAKALAH KELOMPOK 8, MATA KULIAH : BERMAIN DAN MEDIA PERMAINAN ANAK USIA DINI


MAKALAH  MANFAAT BERMAIN BAGI PERKEMBANGAN
MORAL DAN AGAMA ANAK USIA DINI
Mata Kuliah : BERMAIN DAN MEDIA PERMAINAN ANAK USIA DINI


Disusun oleh :
1.      Anisa Siti Maryanti              (1601409041)
2.      Dewi Arifiani Rahmawati    (1601409045)
3.      Iska Yunita                         (1601409049)
4.      Lilis Masithoh                     (1601409054)



PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia sejak lahir hingga 8 tahun. Batasan usia 0-8 tahun merupakan batasan usia yang mengacu pada konsep DAP (Developmentally Aprropriate Practices) yaitu acuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diterbitkan oleh asaosiasi PAUD di Amerika. Dalam DAP sudah dikembangkan kurikulum, kegiatan pembelajaran, dan assessment atau penilaian yang disesuaikan dengan perkembangan anak berdasarkan usia dan kebutuhan individunya. Berdasar pada karakteristik usia tersebut, anak usia dini dibagi menjadi : 1) usia 0-1 tahun merupakan masa bayi, 2) Usia 1-3 tahun merupakan masa Toddler (BATITA), 3) Usia 6 tahun merupakan masa prasekolah, 4) usia 6-8 tahun merupakan masa SD kelas awal.
Anak usia dini memiliki proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Secara fisik pertumbuhan anak usia dini sangat pesat, Tinggi badan dan berat badan anak bertambah cukup pesat, dibanding dengan pertumbuhan pada usia diatasnya. Begitu pula pertumbuhan otak anak, otak sebagai pusat koordinasi berbagai kemampuan manusia tumpuh sangat pesat pada anak usia dini. Pada usia 4 tahun pertumbuhan otak anak sudah mendekati 80 % sempurna. Pemberian stimulasi pendidikan pada saat pertumbuhan fisik anak yang pesat dan otak sedang tumbuh dan mengalami kelenturan atau pada usia kematangannya akan mendapat hasil yang maksimal dibandingkan pada usia sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian sebagai pendidik perlu memahami kapan munculnya masa peka atau usia kematangan anak tersebut.
Disamping pertumbuhan, perkembangan anak usia dinipun muncul dengan pesat. Berbagai macam aspek yang berkembang sering dikelompokkan sebagai perkembangan fisik (motorik halus dan kasar), inteligensi (daya pikir dan daya cipta), bahasa (kosa kata, komuikasi), social-emosional (sikap, kebiasaan, perilaku, moral). Pada usia dini perkembangan masing-masing aspek memiliki karakteistik khusus yang berbeda pada usia-usia tertentu. Pemberian stimulasi yang sesuai dengan karakteristik perkembangan anak akan menjadikan berbagai aspek perkembangan anak berkembang maksimal.
Dalam penyelenggaraan pendidikan berbagai metode dapat dilakukan misalnya belajar melalui bermain. Dengan bermain, anak dapat mengembangkan berbagai aspek dalam pertumbuhan dan perkembangan tersebut.  Salah satu cara inilah yang digunakan untuk mengembangkan moral agama anak. Pesatnya anak dalam mempelajari segala hal dapat dimanfaatkan pendidik dengan sebuah permainan yang disertai nilai-nilai moral dan agama yang dapat mudah diserap dan dipelajari oleh anak.


BAB II
KAJIAN TEORI
A.    BERMAIN
a.       Pengertian Bermain
Bermain merupakan seluruh aktivitas anak termasuk bekerja kesenangannya dan merupakan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan kebutuhan anak seperti hanya makanan, cinta kasih (Soetjiningsih, 1995). Tentang bermain, Hurlock (1999) menyatakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Kategori bermain dibagi menjadi dua yaitu bermain aktif dan pasif (Hurlock,1999):
·         Bermain aktif
Dalam bermain aktif, anak memperoleh kesenangan dari apa yang dilakukannya. Misalnya berlari atau membuat sesuatu dari lilin.
·         Bermain pasif
Kesenangan yang diperoleh anak dalam bermain egosentris. Sedikit demi sedikit anak akan dilatih untuk mempertimbangkan perasaan orang lain, bekerja sama, saling membagi dan menghargai. Melalui bermain anak dilatih bersabar, menunggu giliran dan terkadang bisa kecewa karena in pasif berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya menikmati temannya bermain, melihat hewan. Bermain jenis ini membutuhkan sedikit energi dibandingkan bermain aktif.
b.      Manfaat bermain
Beberapa manfaat yang bisa diperoleh seorang anak melalui bermainantara lain (Zaviera, 2008):
·         Aspek fisik, dengan mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang banyak melibatkan gerakan – gerakan tubuh, akan membuat tubuh anak menjadi sehat.
·          Aspek perkembangan motor kasar dan halus, hal ini untuk meningkatkan ketrampilan anak.
·         Aspek sosial, anak belajar berpisah dengan ibu dan pengasuh. Anak belajar menjalin hubungan dengan teman sebaya, belajar berbagi hak, mempertahankan hubungan, perkembangan bahasa, dan bermain peran sosial.
·          Aspek bahasa, anak akan memperoleh kesempatan yang luas untuk berani bicara. Hal ini penting bagi kemampuan anak dalam berkomunikasi dan memperluas pergaulannya.
·         Aspek emosi dan kepribadian. Melalui bermain, anak dapat melepaskan ketegangan yang dialaminya. Dengan bermain berkelompok, anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan yang dimiliki sehingga dapat membantu perbentukan konsep diri yang positif, mempunyai rasa percaya diri dan harga diri.
·         Aspek kognisi. Pengetahuan yang didapat akan bertambah luas dan daya nalar juga bertambah luas, dengan mempunyai kreativitas, kemampuan berbahasa, dan peningkatan daya ingat anak.
·         Aspek ketajaman panca indra. Dengan bermain, anak dapat lebih peka pada hal – hal yang berlangsung dilingkungan sekitarnya.
·         Aspek perkembangan kreativitas. kegiatan ini menyangkut kemampuan melihat sebanyak mungkin alternatif jawaban. Kemampuan divergen ini yang mendasari kemampuan kreativitas seseorang.
·         Terapi. Melalui kegiatan bermain anak dapat mengubah emosi negative menjadi positif dan lebih menyenangkan.
c.        Jenis permainan
Menurut Suherman (2000) yang dikutip dari Hetzer macam-macam permainan anak dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu:
·         Permainan fungsi
Permainan dengan menggunakan gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh.
·         Permainan konstruktif
Membuat suatu permainan, contohnya membuat kereta.
·          Permainan reseptif
Sambil mendengarkan cerita atau membaca buku cerita anak berfantasi dan menerima kesan-kesan yang membuat jiwanya aktif.
·         Permainan peranan
Dalam permainan ini akan bermain peran, sebagai contoh berperan sebagai guru.
·         Permainan sukses
Yang diutamakan dalam permainan ini adalah prestasi sehingga diperlukan keberanian.
d.      Faktor - faktor yang mempengaruhi permainan anak (Hurlock,1999):
·         Kesehatan
Semakin sehat anak semakin banyak energinya untuk bermain aktif, seperti permainan dan olahraga. Anak yang kekurangan tenaga lebih menyukai hiburan.
·         Perkembangan motorik
Permainan anak pada setiap usia melibatkan koordinasi motorik. Apa saja yang akan dilakukan dan waktu bermainnya tergantung pada perkembangan motorik mereka. Pengendalian motorik yang baik memungkinkan anak terlibat dalam permainan aktif.
·          Intelegensi
Pada setiap usia, anak yang pandai lebih aktif ketimbang yang kurang pandai, dan permainan mereka lebih menunjukan kecerdikan. Dengan bertambahnya usia, mereka lebih menunjukan perhatian dalam permaian kecerdasan, dramatik, konstruksi, dan membaca. Anak yang pandai menunjukan keseimbangan perhatian bermain yang lebih besar., termasuk upaya menyeimbangkan faktor fisik dan intelektual yang nyata.
·         Jenis kelamin
Anak laki-laki bermain lebih kasar ketimbang anak perempuan dan lebih menyukai permainan dan olahraga ketimbang berbagai jenis permainan yang lain. pada awal kanak-kanak, anak laki-;aki menunjukan perhatian pada berbagai jenis permainan yang lebih banyak ketimbang anak perempuan tetapi sebaliknya terjadi pada akhir masa kanak-kanak.
·         Lingkungan
Anak dari lingkungan yang buruk, kurang bermain ketimbang anak lainnya disebabkan karena kesehatan yang buruk, kurang waktu, peralatan, dan ruang. Anak yang berasal dari lingkungan desa kurang bermain ketimbang mereka yang berasal dari lingkungan kota. Hal ini karena kurangnya teman bermain serta kurangnya peralatan dan waktu bebas. Ibu yang mempunyai pengetahuan yang baik akan lebih cenderung memperhatikan kebutuhan bermain bagi anak. Dan akan memfasilitasi anak dalam bermain karena dengan bermain secara psikologis kepuasan fisik, emosi, sosial dan perkembangan mental anak terpenuhi sehingga anak dapat mengekspresikan perasaannya dan menunjukan kreativitasnya (Suherman, 2000).
·         Status sosioekonomi
Anak dari kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi lebih menyukai kegiatan yang mahal, seperti lomba atletik, bermain sepatu roda, sedangkan mereka dari kalangan bawah terlihat dalam kegiatan yang tidak mahal sepertu bermain bola dan berenang. Kelas sosial mempengaruhi buku yang dibaca dan film yang ditonton anak, jenis kelompok rekreasi yang dimilikinya dan supervisi terhadap mereka.
·         Jumlah waktu bebas
Jumlah waktu bermain terutama tergantung pada ststus ekonomi keluarga. Apabila tugas rumah tangga atau pekerjaan menghabiskan waktu luang mereka, anak terlalu lelah untuk melakukan kegiatan yang membutukan tenaga yang lebih.
·         Peralatan
Peralatan bermain yang dimiliki anak mempengaruhi permainannya. Misalnya dominasi boneka dan binatang buatan mendukung permainan purapura, banyaknya balok, kayu, cat air, dan lilin mendukung permainan yang sifatnya konstruktif.
e.        Tujuan permainan yaitu (Soetjiningsih, 1995) :
Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan, mengembangkan kemampuan berbahasa, mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah, mengurangi, merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara bermain pura-pura (Sandiwara), membedakan benda dengan perabaan, menumbuhkan sportivitas, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang dirumahnya.
f.       Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aktivitas bermain (Soetjiningsih,1995) :
·         Ekstra energi
Untuk bermain diperlukan ekstra energi. Bemain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai. Anak yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenih. (Nursalam, dkk, 2005).
·         Waktu
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulus yang diberikan dapat optimal. Selain itu, anak akan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya. (Nursalam, dkk, 2005).
·         Alat permainan
Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan umur dan perkembangann anak. Orang tua hendaknya memperhatikan hal ini, sehingga alat permainan yang diberikan dapat berfungsi dengan benar. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa alat permainan tersebut harus aman dan mempunyai unsure edukatif bagi anak. (Nursalam, dkk, 2005)
·         Ruangan untuk bermain
Ruangan tidak usah terlalu lebar dan tidak perlu ruangan khusus untuk bermain. Anak bisa bermain di ruang tamu, halaman, bahkan di ruang tidurnya.
·         Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain melalui mencoba-coba sendiri, meniru temantemannya atau diberitahu caranya oleh orang tuanya . cara yang terakhir adalah yang terbaik, karena anak tidak terbatas pengetahuannya dalam menggunakan alat permainannya dan anak-anak akan mendapat keuntungan lebih banyak.
·         teman bermain
Anak harus merasa yakin bahwa ia mempunyai teman bermain kalau ia memerlukan, apakah itu saudaranya, orang tuannya atau temannya. Karena kalau anak bermain sendiri, maka akan kehilangan kesempatan belajar dari teman-temannya. Sebaliknya kalau terlalu banyak bermain dengan anak lain, maka dapat mengakibatkan anak tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menghibur diri sendiri dan menemukan kebutuhannya sendiri. Bila kegiatan bermain dilakukan bersama orang tuanya, maka hubungan orang tua dengan anak menjadi akrab, dan ibu/ayah akan segera mengetahui setiap kelainan yang terjadi pada anak mereka secara dini.
B.     MORAL & AGAMA ANAK
1.      Perkembangan moral anak usia dini
a.       Pengertian perkembangan moral
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku mengenai aturan serta kesepakatan tentang apa yang harus dilakukan dalam interaksi anak dengan orang lain. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma dan etika yang berlaku. Lawrnce Kohlberg mengatakan bahwa perkembangan moral seorang anak erat hubungannya dengan cara berpikir seorang anak. Artinya, bagaimana seorang anak memiliki kemampuan untuk melihat, mengamati, memperkirakan, berpikir, menduga mempertimbangkan dan menilai akan mempengaruhi perkembangan moral dalam diri anak. Semakin baik kemampuan berpikir seorang anak, maka semakin besar kemungkinan anai memiliki perkembangan moral yang baik.
b.      Tahapan perkembangan moral
Tahap perkembangan moral Jean piaget
Piaget memfokuskan pada aspek cara berpikir anak kelompok usia 4-12 tahun yang terlibat dalam suatu permainan. Ia mempelajari anak menggunakan aturan. Anak berpikir tentang moralitas dalam 2 cara/tahap, yaitu:
1.      Heteronomous Morality (Usia 4-7 tahun)
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
2.      Transisi (Usia 7-10 tahun)
Anak-anak berada dalam masa trnasisi, menunjukkan sebagian fitur tahap pertama penalaran moral dan sebagian fitur tahap kedua, moralitas otonom.
3.      Autonomous Morality (>10 tahun)
Tahap ketiga perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
Tahap perkembangan moral Lawrnce Kohlberg
Pandangan piaget tentang tahapan perkembangan moral anak kemudian memberikan inspirasi bagi Kohlberg untuk melanjutkan dan menguraikn tahapan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.      Pra-konvensional morality
Penalaran prakonvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai mora, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.
a.       Tahap pertama, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis. Perilaku anak sagat dipengaruhi oleh konsekuensi fisik dan hedonistik yang diterima anak sebagai balasan atas perilakunya. Boleh-tidak boleh, dimarahi-dipuji, diintepretasikan anak sebagai indikator atas perbuatan yang dilakukan itu baik dan buruk. Perbuatan yang dilakukan atas dasar hanya hukuman dan pujian disebut pinishment and obedience orientation. Anak juga mengitepretasikan suatu perbuatan sebagai perbuatan baik jika memuaskan dirinya dan memuaskan orang lain.
b.      Tahap kedua, individualisme dan tujuan (individualism and purpose), anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
2.      Conventional morality
Penalaran konvensional (conventional reasoning) ialah tingkat kedua atau tingkat menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, internalisasi individual ialah menengah. Seseorang menaati standar-standar  (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
c.       Tahap pertama, Norma-norma interpersonal (interpersonal norms). Anak mendasarkan perilakunya atas harapan setiap anggota kelompoknya atau bangsanya. Anak mulai menyelaraskan perilakunya dengan aturan sosial. Pada tahap ini disebut “the good boy-nice girl”, “anak perempuan yang baik” atau “anak laki-laki yang baik”.
d.      Tahap kedua, moralitas sistem sosial (social system morality) anak menyesuaikan dengan peraturan sosial dan anak harus bisa menerima dan melakukan peraturan itu agar dapat bertahan dan terhindar dari ketidaksetujuan sosial. Tahap ini disebut “law and order orientation”, anak mulai sadar akan adanya aturan dan keharusan untuk mentaati aturan tersebut.
3.      Post-conventional morality
Penalaran pascakonvensional ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
e.       Tahap pertama, Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual rights) anak sudah memiliki berbagai pertimbangan dari segi moral, aturan dan konsekuensi ataas suatu perbuatan. Anak dapat memilih suatu perbuatan dan siap mempertanggungjawabkan segala konsekuensinya.
f.       Tahap kedua, Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) anak menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal untuk menghindari rasa tdak puas dengan diri sediri bukan untuk menghindari kecaman sosial dan ketidak setujuan soaial. Anak berperilaku lebih kepada pemberian peghargaan dari orang lain.
c.       Fase perkembangan moral
Menurut Hurlock (2010:80, bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai, perkembangan moral harus terjadi terjadi dalam dua fase yang jelas, yaitu:
1.      Perkembangan perilaku moral
Anak dapat belajar untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disetujui melalui cara coba-coba ralat, melalui pendidikan langsung, atau melaui identifikasi. Di antara ketiganya, pendidikan langsung dan identifikasi bukan saja merupakan metode terbaik tetapi juga yang paling luas digunakan.
-        Belajar dengan coba ralat
Bila anak belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh masyarakat dengan cara coba-ralat, mereka melakukannya dengan mencoba sesuatu pola perilaku untuk melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memeproleh persetujuan sosial. Bila tidka mereka mencoba metode lain, begitu seterusnya.
-        Pendidikan langsung
Pertama-tama anak harus belajar memberi reaksi tertentu yang tepat dalam situasi tertentu. Ini mereka lakukan dengan mematuhi peraturan orangtua dan orang lain yang berwenang.
-        Identifikasi
Bila anak mengidentifikasikan dengan orang yang dikaguminya, mereka meniru pola perilaku dari orang tersebut biasanya secara tidak sadar dan tanpa tekanan dari mereka. Indentifikasi sebagai sumber belajar perilaku moral semakin penting tatkala anak bertambah besar dan melawan terhadap disiplin di rumah dan di sekolah.

2.      Perkembangan konsep moral
Fase kesua dari perkembangan moral anak adalah fase belajar tentang konsep moral, atau prinsip-prinsip benar dan salah dalam bentuk abstrak dan verbal. Ini tentu saja terlalu sulit bagi seorang anak kecil.clatihan dalam prinsip moral karenanya harus menunggu hingga anak telah mempunyai kemampuan mental untuk membuat generalisasi dan mentransfer prinsip tingkah laku dari situasi ke situasi yang lain.
Anak prasekolah, mendefinisikan “perilaku baik” dalam bentuk tindakan tertentu misalnya mematugi ibu atau membantu orang lain dan “perilaku buruk” dalam arti tidak melakukan hal-hal tersebut.
2.      Perkembangan agama
a.       James Fowler
Menurut Fowler, iman didefinisikan sebagai ‘cara memandang atau mengetahui dunia’. Iman juga tidak harus selalu tertuju kepada sebuah tuhan atau sosok makhluk lainnya; keyakinan terhadap sains, kemanusiaan, atau Jedi sekalipun sah-sah saja disebut sebagai iman, asalkan orang itu meyakini obyek imannya sebagai yang paling bernilai (ultimate worth) dan mampu memberi makna bagi hidupnya.
Dari definisi tersebut Fowler dan rekan-rekannya mengemukakan eman taahapan iman dari awal hingga akhir hidup seseorang yaitu:
Tahap 1: Intuitive-projective faith (usia 18-24 bulan sampai 7 tahun)  
Pada masa ini ‘iman’ anak banyak diperoleh dari apa yang diceritakan orang dewasa. Dari cerita-cerita itu mereka membentuk gambaran Tuhan yang perkasa, surga yang imajinatif, dan neraka yang mengerikan. Gambaran ini umumnya bersifat irasional, karena pada masa ini anak belum memahami sebab-akibat dan belum dapat memisahkan kenyataan dan fantasi. Mereka juga masih kesulitan membedakan sudut pandang Tuhan dengan sudut pandang mereka atau orangtuanya. Konsep Tuhan yang diyakini pada masa ini berkisar pada kepatuhan (obedience) dan hukuman (punishment).

Tahap 2: Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun)
Anak sudah lebih logis dan mulai mengembangkan pandangan akan alam semesta yang lebih tertata. Meskipun sudah mengikuti kepercayaan dan ritual orangtua serta masyarakat, mereka cenderung mempercayai cerita dan simbol religius secara literal karena pada masa ini anak belum mampu berpikir abstrak. Di sisi lain, mereka sudah dapat memahami bahwa Tuhan mempunyai sudut pandang lain dengan turut mempertimbangkan usaha dan niat seseorang sebelum ‘menghakiminya’. Mereka percaya bahwa Tuhan itu adil dalam memberi ganjaran yang sepantasnya bagi manusia.
Tahap 3: Synthetic-conventional faith (usia remaja dan selanjutnya)
Setelah mampu berpikir abstrak, remaja mulai membentuk ideologi (sistem kepercayaan) dan komitmen terhadap ideal-ideal tertentu. Di masa ini mereka mulai mencari identitas diri dan menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun identitas mereka belum benar-benar terbentuk, sehingga mereka juga masih melihat orang lain (biasanya teman sebaya) untuk panduan moral. Iman mereka tidak dapat dipertanyakan dan sesuai dengan standar masyarakat. Tahap ini pada umumnya terdapat pada pengikut agama yang terorganisasi; sekitar 50 persen orang dewasa mungkin tidak akan melewati tahap ini.
Tahap 4: Individuative-reflective faith (awal hingga pertengahan umur duapuluhan)
Mereka yang bisa mencapai tahap ini mulai memeriksa iman mereka dengan kritis dan memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari otoritas eksternal dan norma kelompok. Pada tahap ini masalah orang muda umumnya terkait dengan pasangan hidup, sehingga perpindahan ke tahap ini bisa dipicu oleh perceraian, kematian seorang teman, atau peristiwa-peristiwa lainnya yang menimbulkan stres.
Tahap 5: Conjunctive faith (usia paruh baya)
Pada usia paruh baya, orang jadi semakin menyadari batas-batas akalnya. Mereka memahami adanya paradoks dan kontradiksi dalam hidup, dan sering menghadapi konflik antara memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dengan berkorban untuk orang lain. Ketika mulai mengantisipasi kematian, mereka dapat mencapai pemahaman dan penerimaan lebih dalam, yang diintegrasikan dengan iman yang mereka miliki sebelumnya.
Tahap 6: Universalizing faith (lanjut usia)
Pada tahap terakhir yang jarang dapat dicapai ini, terdapat para pemimpin moral dan spiritual, seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Bunda Teresa, yang visi dan komitmennya terhadap kemanusiaan menyentuh begitu banyak orang. Mereka digerakkan oleh keinginan untuk “berpartisipasi dalam sebuah kekuatan yang menyatukan dan mengubah dunia”, namun tetap rendah hati, sederhana, dan manusiawi. Karena sering mengancam kekuasaan, mereka kerap menjadi martir; dan meski mencintai kehidupan, mereka tidak terikat padanya.
b.      Zakiyah Darajat
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman. Ia juga berpendapat bahwa “Penayangan acara mistis yang bisa menumpulkan akal dan logika penonton, ditinjau dari segi agama adalah suatu kesalahan besar,”katanya. Ia menjelaskan, secara psikologis acara siaran televisi mempunyai pengaruh yang kuat dalam waktu yang lama kepada pikiran penontonnya. Indera pertama yang memiliki pengaruh terkuat pada pikiran adalah penglihatan, kemudian yang kedua adalah pendengaran, dan selanjutnya adalah indera perasa. Acara televisi yang melibatkan indera penglihatan dan pendengaran penontonnya, menurut dia, memiliki pengaruh yang lebih kuat kepada pikiran penonton dibanding pengaruh media lain.
Menurut Zakiah, pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil, termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman sejak kecil.
C.     CONTOH DAN MANFAAT BERMAIN BAGI PRKEMBANGAN MORAL AGAMA
a.       Contoh Permainan
Sebenarnya sebagain besar permainan dapat mengembangkan moral dan agama anak, kerana dalam semua permaianan kita dapat menanamkan moral melalui penanaman sikap seperti jujur dalam permaianan, sportifitas, toleransi, tidak menang sendiri, dan mampu mengikuti aturan tanpa melanggarnya.
Contoh pada sebuah pemainan tentunya memiliki unsure permainan berupa aturan. Penanaman disiplin / taat pada aturan merupakan bentuk penanaman moral pada anak. Selanjutnya bentuk lain penanaman moral pada anak adalah jujur dalam bermain, dalam sebuah permianan juga harus ada unsure  kejujuran dan mau menerima kekalahan dan tidak berbuat curang saat dia kalah.
Sedangkan permainan yang mampu mengebangkan agama anak salah satu contohnya merupakan permaianan role playing. Melalui role playing kita dapat mengenalkan nilai-nilai keagamaan pada anak. Contoh permainan lain yang mengandung unsure  moral dan religious adalah permainan jawa “nini thowong”.
b.      Manfaat Bermain bagi Moral Agama Anak
Dari penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, diperoleh temuan bahwa bermain mempunyai manfaat yang besar bagi pekembangan anak. Bermain merupakan pengalaman belajar yang sangat berguna untuk anak, misalnya saja memperoleh pengalaman dalam membina hubungan dengan sesama teman, menambah perbendaharaan kata, menyalurkan perasaan‑perasaan tertekan dan masih banyak lagi manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan bermain. Salah satu manfaat bermain adalah untuk perkembangan moral dan agama anak, dimana seorang anak akan mempelajari nilai benar dan salah melalui interaksi dengan lingkungan dengan bermain, anak juga mempelajari nilai-nilai ketuhanan dilingkungannya.
Bagi anak, bermain adalah suatu kebutuhan yang sudah ada dengan sendirinya (inhemt), dan sudah terberi secara alamiah. Dapat diktakankan tidak ada anak yang tidak suka bermain. Melalui bermain, seorang anak dapat mempelajari nilai-nilai moral yang melibatkan pikiran, perasaan, dan perilaku mengenai aturan dan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dalam interaksi mereka dengan orang lain. Pada saat melakukan permainan secara tidak sadar anak sedang belajar mengelola emosinya, emosi positif seperti empati juga berkontribusi terhadap perkembangan moral anak-anak.
Piaget menganalisis penalaran moral dan menyimpulkan bahwa anak-anak menampilkan moralitas heteronom, menilai perilaku dari konsekuensinya. Karena anak adalah moralis heteronom, mereka menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan konsekuensinya, bukan niat dari pelakunya. Sebagai contoh, bagi moralis heteronom, tidak sengaja merusak semua mainan lebih buruk daripada sengaja merusak satu mainan saja. Saat anak-anak berkembang menjadi moralis otonom, niat menjadi lebih penting daripada konsekuensi. Pemikir heteronom juga percaya bahwa peraturan tidak dapat diubah dan turunkan oleh otoritas yang kuat. Ketika Piaget menyarankan kepada anak-anak agar mereka menggunakan aturan baru dalam permainan kelereng, mereka menolak. Sebaliknya, anak-anak yang lebih tua otonomis moral (moral autonomists) menerima perubahan dan mengenali bahwa aturan hanyalah konvensi yang nyaman, tunduk pada perubahan.  Perubahan-perubahan dalam penalaran moral terjadi seiring dengan perkembangannya, anak-anak berkembang lebih canggih ketika berpikir mengenai isu-isu sosial, terutama tentang kemungkinan dan kondisi kerja sama. Pemahaman sosial datang melalui saling memberi dan menerima dari hubungan teman sebaya saat mereka menghabiskan waktu dalam permainan. Karena dalam permainan dengan teman sebaya, anak akan merasa memiliki kekuatan dan status yang sama dengan anak lain, anak belajar membuat rencana kemudian dinegosiasikan dan dikoordinasikan, ketika anak-anak menemukan perselisihan saat bermain mereka anak menalarnya untuk menemukan penyelesaian, dan hal-hal seperti ini akan menetap ketika anak menemuinya diluar permainan.
Dari kegiatan bermain yang dilakukan bersama sekelompok teman anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebih-kelebihan yang ia miliki sehingga dapat membantu pembentukan konsep diri yang positif, mempunyai rasa percaya diri dan harga diri karena ia merasa mempunyai kompetensi tertentu. Anak belajar bagaimana harus bersikap dan bertingkah laku agar dapat bekerja sama dengan teman‑teman, bersikap jujur, kesatria, murah hati, tulus dan nilai-nilai moral lainnya agar dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.  

BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan
Pada dasarnya setiap permainan dapat mengembangkan nilai moral dan agama pada anak, meskipun kita tidak dapat melihat efeknya secara langsung. Melalui permainan anak-anak sedikit demi sedikit belajar memahami nilai-nilai moral dan agama yang ada dilingkungannya dengan pengawasan dan bimbingan yang mendukung dari orang dewasa yang ada di lingkungan bermain anak. Nilai moral seperti kejujuran, toleransi, empati, hati nurani yang mengacu kepada pengaturan internal standar benar dan salah di dapat anak melalui interaksi dengan teman sebaya pada saat bermain.   

  
DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E. B., 1999. Perkembangan Anak Jilid 2 (Edisi 6). Penerbit Erlangga : Jakarta
Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mianan dan Permaianan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasrana indobesia.
Munandar. S.C.U., 1995 Perkembangan Kreativitas Anak Berbakat.  Rineka Cipta kejasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Santrock, Jhon W, 2011. Masa Perkembangan Anak. Salemba Humanika : Jakarta
Sumintarsih, 2008. Permainan Tradisional Jawa. Penerbit kepel press : Yogyakarta


0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar